KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA



Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Alasan-alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.[14]
1.      Fitrah Manusia
Dalam bukunya berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali a.s. menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan  pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki fitrah kegamaan tersebut di atas, buat pertama kali ditegaskan dalam ajaran agama Islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, mucul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inillah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang artinya:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-Rum [30]: 30)
Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah ihsan yang digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan manusia. Dengan mengacu kepada informasi yang diberikan al-Qur’an, Musa Asy’ari dalam bukunya Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, samapai pada suatu kesimpulan bahwa manusia insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya, sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari cipataan-Nya. Lebih lanjut Musa Asy’ari mengatakan bahwa pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan konkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup, dan kemudian mati.
Informasi mengenai potensi beragama yang dimiliki manusia itu dapat pula dijumpai dalam ayat artinya sebagai berikut.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. al-A’raf [7]: 72)
Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk Nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau  Majusi.
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti tersebut kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya mereka mempertuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan. Kepercayaan demikian itu selanjutnya disebut agama dinamisme. Selanjutnya kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan buruk dan kemudian mereka disebut agama animisme. Ruh dan jiwa itu selanjutnya mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang keadaannya serba relatif. Dalam keadaan demikian itulah para Nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam agama yang disampaikan para Nabi. Untuk itu, maka jika seseorang ingin mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para Nabi. Kepada mereka itu, para Nabi menginformsikan bahwa Tuhan yang menciptakan mereka dan wajib disembah adalah Allah. Dengan demikian sebutan Allah bagi Tuhan, bukan hasil khayalan manusia, dan bukan pula hasil seminar, penelitian dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Einstein menyatkan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang teguh pada agama.
Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengakaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji pahama hulul dari al-Hallaj (858-922 M.) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut Lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut Nasut. Demikian pula pada diri Tuhanpun terdapat sifat Lahut dan Nasut. Sifat Lahut Tuhan mengacau pada zat-Nya, sedangkan sifat Nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Semesntara itu sifat Nasut manusia mengacu kepada unsur lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat Lahut manusia mengacu pada unsur batiniah dan ilahiah. Jika manusia mampu meredam sifat Nasutnya maka yang nampak adalah sifat Lahut­nya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara Nasut Tuhan dengan Lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.
Melalui uraian tersebut sampailah pada kesimpulan, bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan, dan pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.
Previous
Next Post »

Mari Berkomentar ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment
loading...