BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebelum masa
krisis moneter 1997- 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat pesat, kurs
rupiah cenderung relatif stabil. Demikian pula iklim investasi terus meningkat.
Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor dan pemerintah selaku pihak
yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi cenderung mengabaikan pinjaman
terhadap mata uang asing, khususnya Dollar Amerika Serikat. Dengan tidak adanya
perlindungan terhadap rupiah itu, belakangan membawa dampak yang kurang baik
pada saat terjadinya resesi ekonomi secara global pada tahun 1997. Permasalahan
krisis moneter ini bermula dari gonjang-ganjing krisis di sejumlah
negara-negara Asia, seperti Jepang, Thailand, Malaysia dan sebagainya, termasuk
Indonesia. Krisis itu diawali dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap
mata uang Dollar Amerika Serikat. Gejolak ini membuat banyak bank-bank di Indonesia mengalami kesulitan
keuangan, terutama yang mempunyai
pinjaman uang dalam bentuk mata uang asing. Hal ini berakibat pada
kebijakan pemerintah untuk melikuidasi 16 bank pada masa itu, sehingga
mendorong sejumlah nasabah menarik dananya dari bank secara besar-besaran (rush). Hal ini membuat
pemerintah berpikir keras untuk meredakan krisis yang terjadi melalui berbagai
upaya kebijakan.
Maka sebab itu makalah ini akan coba memaparkan
bagaimana kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada saat itu untuk
memulihkan kondisi perbankan Indonesia, serta menjelaskan apa saja pemicu dari
krisis yang terjadi saat itu.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, kami
merumuskan beberapa pembahasan, yaitu :
1.
Apa itu Krisis
Keuangan dan Faktor- Faktor Penyebab Krisis di Indonesia?
2.
Bagaimana kondisi Perkembangan perbankan sebelum dan sesudah krisis moneter?
3. Bagaimana Kebijakan
Awal Mengatasi Kesulitan Likuiditas Perbankan?
4. Bagaimana
Kebijakan Lanjutan Meredakan Krisis Perbankan?
5.
Apa itu Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)?
6. Apa yang dimaksud Restrukturisasi Perbankan?
1.3 Tujuan
Penyusunan
Pada dasarnya
tujuan penyusunan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pasar Uang Pasar Modal Semester V di Universitas Muhammadiyah
Tangerang. Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah :
-
Untuk memberikan pemahaman mengenai krisis keuangan
dan faktor- faktor penyebab krisis di Indonesia?
-
Menggambarkan kondisi perkembangan perbankan sebelum dan sesudah krisis terjadi.
-
Menjelaskan kebijakan kebijakan yang dilakukan pemerintah pada saat
krisis dan
-
Upaya Restrukturisasi Perbankan yang dilakukan Pemerintah.
1.4 Metode Penyusunan
Dalam proses penyusunan makalah ini,
kami menggunakan pendekatan metode studi literatur. Yaitu dengan melakukan
proses pencarian dan pengumpulan dokumen sebagai sumber data dan informasi.
Pencarian data yang dilakukan penyusun dengan media pancarian sumber di
internet, serta mengkaji artikel-artikel maupun buku yang dapat dijadikan
sumber informasi.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Krisis ekonomi Indonesia dan
Faktor-Faktor Penyebabnya.
Krisis
ekonomi atau yang sering disebut dengan nama krisis moneter merupakan suatu
peristiwa atau kondisi menurunnya ekonomi suatu negara. Semua negara praktis
pernah mengalami krisis dalam perekonomian negaranya. Mengapa demikian? Karena
krisis merupakan kejadian yang simultan dan memiliki efek yang akan menyebar ke
berbagai negara. Banyak yang menyebutkan bahwa krisis moneter merupakan hasil
dari ekonomi kapitalis yang sepenuhnya bergantung pada sistem pasar yang ada.
Akibatnya pasar tidak terkendali dan mengakibatkan terjadinya krisis.
Indonesia
pernah mengalami krisis yang melanda perekonomiannya. Pada tahun 1997 krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi Indonesia benar-benar kolaps hingga
membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu menjadi minus. Diawali dengan
adanya krisis keuangan yang terjadi di Thailand, lalu merambah ke seluruh
negara Asia, dan kemudian Indonesia. Sehingga membuat kurs rupiah melemah
terhadap mata uang asing. Hal ini tentu merembet ke sektor lainnya seperti,
berkurangnya investasi, dan banyak industri-industri yang bangkrut sehingga
menimbulkan angka pengangguran yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka
inflasi yang mencapai hiperinflasi. Kejadian ini membuat ekonomi Indonesia
terpuruk, padahal awalnya Indonesia merupakan negara yang ekonominya paling
tangguh di antara negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Industri indonesia
yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas harus kembali mengulang dari awal.
Penyebab
dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia lemah, tetapi karena
utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Krisis yang
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat
tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan bertubi-tubi terhadap dollar AS
(spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.
Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab
lainnya yang datangnya bersusulan. Empat sebab utama yang membuat krisis menuju
ke arah kebangkrutan yaitu :
1.
Akar dari segala permasalahan adalah
utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah
mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar
utang yang jatuh tempo beserta bunganya. Akumulasi utang swasta luar negeri
yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan
sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah beberapa tahun terakhir. Ada tiga
pihak yang mempunyai andil besar di sini, yaitu pemerintah, kreditur dan
debitur. Kesalahan pemerintah karena telah memberi signal yang salah kepada
pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku
bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal
dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat
bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar
negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah.
2.
Banyaknya kelemahan
dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan
tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah
perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada
pertengahan tahun 1988, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah
tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.
Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang
melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya
sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria
layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya
tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap
dibiarkan beroperasi.
3.
Masalah governance, termasuk
kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma
menjadi krisis kepercayaan. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa
lari ke luar negeri tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4.
Ketidakpastian politik menghadapi
pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu
itu. Kondisi politik yang tidak menentu, mengakibatkan isu tentang pemerintahan
berkembang menjadi persoalan ekonomi pula dan pada gilirannya memperbesar
dampak krisis ekonomi itu sendiri.
2.2
Perkembangan perbankan sebelum dan sesudah krisis moneter
Perkembangan
perbankan di Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter tahun 1997-1998
mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sebelum terjadinya krisis moneter
jumlah bank yang beroperasi di Indonesia berkembang sangat pesat sebagai dampak
diterbitkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 ( Facto 88). Hal ini
dikarenakan diberikannya kemudahan bagi para investor untuk mendirikan bank.
Dengan hanya modal Rp. 10.000.000.000 , para investor bisa mendirikan bank
baru. Tercatat dalam kurun waktu 3 tahun sesudah diterbitkannya Facto 88, dari
111 bank umum yang beroperasi pada tahun 1988 meningkat menjadi 182 bank pada
pertengahan 1991 dan mencapai puncaknya pada tahun 1995 yaitu sebanyak 240 bank
(Hermawan, 2005).
Sedangkan
setelah krisis jumlah bank umum yang beroperasi rata – rata mengalami penurunan
tiap tahunnya. Tercatat dari 208 bank umum yang beroperasi pada tahun 1998
turun menjadi 164 bank pada tahun 1999 dan sampai tahun 2011 jumlah bank umum
yang beroperasi hanya berjumlah 120 bank (Bank Indonesia, 1999 – 2011).
Penurunan ini disebabkan karena banyaknya bank yang bangkrut dan akhirnya bank
yang tersandung masalah dilikuidasi, dimerger, dibekukan operasinya (BBO),
dibekukan kegiatan usahanya (BBKU) dan diikut sertakan dalam program
rekapitalisasi.
Faktor
yang memperparah kondisi perbankan di Indonesia adalah menguapnya dengan cepat
kepercayaan masyarakat, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan,
besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan
internasional yang kurang menguntungkan.
Awal
terjadinya krisis, dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah
tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di
negara-negara lain di Asia. Kemudian terjadi proses menjalar dari proses
penularan tersebut, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah
tertekannya perbankan. Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi
ketidakpercayaan terhadap perbankan yang menimbulkan krisis perbankan. Krisis
tersebut membawa kepanikan kepada para nasabah bank karena mahalnya kredit
bank, sehingga sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor
riil (kegiatan produksi,perdagangan, investasi maupun konsumsi).
Selanjutnya,
perkembangan krisis keuangan ini menjalar menjadi krisis sosial dimana
perusahaan yang tidak memperolah pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap
karyawannya.
2.3 Kebijakan
Awal Mengatasi Kesulitan Likuiditas Perbankan
Menghadapi kesulitan perbankan
tersebut diatas, pemerintah meminta bantuan kepada IMF
untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu. Bantuan IMF yang
mengalir kepada pemerintah Indonesia tidak datang begitu saja dengan percuma,
ada berbagai kesepakatan yang harus disepakati antara pemerintah Indonesia
dengan IMF. Kesepakatan tersebut tertuang dalam sebuah perjanjian yang tertuang
dalam Letter of Intent. Dalam Letter of Intent memuat berbagai kebijakan untuk
mengatasi kondisi perekonomian Indonesia. Salah satu butir kesepakatan yang
tertuang dalam LoI adalah restrukturisasi perbankan di Indonesia.
Sebagai langkah awal penyehatan
perbankan yang dirumuskan IMF disepakati bahwa tindakan melikuidasi bank yang
tidak solvent merupakan sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka
restrukturisasi perbankan. Dalam Rapat Direksi Bank Indonesia, dikemukakan
bahwa pihak Bank Indonesia menyampaikan tujuh bank swasta nasional yang layak
dicabut izin usaha mereka. Namun IMF tidak puas dengan tujuh bank, karena
menurut mereka market menghendaki lebih dari tujuh bank. Setelah melalui serangkaian
kajian disepakati 16 bank yang dilikuidasi, antara lain :
1. Bank Harapan Sentosa
2. Sejahtera Bank Umum
3. Bank Pacific
4. South East Asian Bank
5. Bank Pinaesaan
6. Bank Anrico
7. Bank Umum Majapahit Jaya
8. Bank Industri
9. Bank Jakarta
10. Bank Astria Raya
11. Bank Guna Internasional
12. Bank Dwipa Semesta
13. Bank Kosagraha Semesta
14. Bank Citrahasta Danamanunggal
15. Bank Andromeda
16. Bank Mataram Dhanaarta
Penutupan 16 bank yang tidak solvent
merupakan bagian dari restrukturisasi sektor keuangan, bahkan sebenarnya
tindakan ini merupakan syarat awal dari pinjaman IMF. Pencabutan izin usaha
terhadap 16 bank yang semula dimaksudkan untuk penyehatan perbankan guna
mengembalikan kepercayaan masyarakat justru memberikan hasil yang sangat jauh dari
perhitungan. Masyarakat yang mengetahui bahwa jumlah simpanan yang dibayarkan
pada 16 bank yang dilikuidasi hanya sebesar Rp 20 juta sedangkan sisa simpanan
diatas Rp 20 juta mereka melakukan penarikan dana tunai secara besar-besaran
dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang
dinilai kuat. Akibatnya, bank-bank yang dianggap kuat juga ikut terkena dampak
krisis kepercayaan tersebut.
2.4 Kebijakan
Lanjutan Meredakan Krisis Perbankan.
Akibat pencabutan izin usaha
terhadap 16 bank, kepercayaan masyarakat pada bank-bank
nasional runtuh. Kekhawatiran akan terjadinya pencabutan ijin usaha berikutnya
dan tidak adanya program penjaminan simpanan telah menyebabkan kepanikan
masyarakat atas keamanan dananya di perbankan.
Hal ini mendorong masyarakat melakukan penarikan simpanan dari perbankan
secara besar-besaran dan perpindahan simpanan dari satu bank yang dipandang
kurang sehat ke bank lain yang dianggap lebih sehat.
Kepanikan masyarakat tersebut
menyebabkan tekanan yang berat terhadap posisi likuiditas perbankan. Beberapa
bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana juga terkena
imbas sehingga berubah posisinya menjadi peminjam dana di Pasar Uang Antar
Bank. Akibatnya, hampir seluruh bank umum nasional menghadapi kesulitan
likuiditas dalam jumlah besar sehingga menyebabkan sebagian besar bank
melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum dan mengalami saldo negatif atas
rekening gironya di BI.
Guna segera memulihkan kepercayaan
terhadap perbankan, pemerintah mengeluarkan kebijakan lanjutan. Kebijakan –
kebijakan itu antara lain adalah:
- Kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Kebijakan BLBI merupakan salah satu
kebijakan necessary conditions atau extra ordinary situation yang terjadi
akibat krisis moneter 1997, agar perekonomian tidak hancur lebih dalam lagi.
BLBI (Bantuan Likuditas Bank
Indonesia) adalah Pinjaman likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank karena
adanya penarikan dana secara besar-besaran dari nasabah kreditur yang terkenal
dengan nama “rush”.
BLBI merupakan fasilitas dari Bank
Indonesia untuk menjaga kestabilan sistim pembayaran dan sektor perbankan agar
jangan terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan
penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun panjang.
Meskipun bantuan likuiditas untuk
menghadapi masalah perbankan ini sudah ada dan dipergunakan sejak lama, istilah
Bantuan Likuiditas BI atau BLBI baru digunakan oleh Bank Indonesia sejak tahun
1998. Istilah ini muncul semenjak Indonesia menjalankan program pemulihan
ekonomi dengan dukungan IMF.
Pada dasarnya BLBI terdiri atas 5
jenis fasilitas sebagai berikut:
-
Fasilitas dalam rangka
mempertahankan kestabilan sistim pembayaran yang bisa terganggu karena adanya
mismatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan, baik
dalam jangka pendek disebut fasilitas diskonto atau fasdis I dan yang berjangka
panjang, disebut fasdis II.
-
Fasilitas dalam rangka operasi pasar
terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter dalam bentuk SBPU lelang maupun
bilateral
-
Fasilitas dalam rangka penyehatan
(nursing atau rescue) bank dalam bentuk kredit likuiditas darurat (KLD) dan
kredit sub-ordinasi (SOL)
-
Fasilitas untuk menjaga kestabilan
sistim perbankan dan sistim pembayaran sehubungan dengan adanya penarikan dana
perbankan secara besar-besaran (bank run atau rush) dalam bentuk penarikan
cadangan wajib (GWM) atau adanya saldo negatif atau saldo debet atau overdraft
rekening bank di BI
-
Fasilitas untuk mempertahankan
kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar
kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistim penjaminan (blanket
guarantee)
Komponen terbesar dari BLBI adalah
bantuan likuiditas kepada bank-bank yang menghadapi masalah penarikan dana oleh
nasabah secara besar-besaran dan bersamaan berkaitan dengan krisis yang melanda
perekonomian nasional. Akan tetapi BLBI juga menyangkut berbagai fasilitas BI
kepada bank-bank dalam bentuk lain sebagaimana secara rinci disebutkan di atas.
Dalam keadaan normal, suatu bank
meskipun dalam keadaan sehat dapat saja menghadapi masalah kesenjangan antara
aliran dana yang harus dibayarkan dengan yang diterima. Keadaan likuiditas bank
demikian disebut sebagai suatu mismatch, artinya suatu kesenjangan yang timbul
karena tagihan terhadap bank tersebut (liabilities) lebih besar dari hak untuk
dibayar (assets) pada hari dilakukan pencatatan. Hak menerima bayaran dan kewajiban membayar
harian yang terjadi setiap hari kerja dicocokkan melalui proses kliring, di
Indonesia kliring dilaksanakan oleh BI serta dalam hal-hal tertentu oleh
bank-bank yang ditunjuk BI. Dalam sistim pembayaran nasional pembayaran
dilakukan selain melalui cara ini juga melalui cara tunai, menggunakan uang.
Setiap hari bank-bank perserta
kliring harus mencek bagaimana posisinya pada waktu kliring. Bagi suatu bank,
kalau hak tagihnya lebih kecil dari kewajiban membayarnya dikatakan mengalami
kalah kliring.
Suatu bank yang menghadapi kalah
kliring harian dalam keadaan normal akan mengatasinya dengan cara-cara sebagai
berikut:
1.
Menutup kekalahan dengan menggunakan
dananya sendiri, baik yang disimpan dibanknya atau yang disimpan di BI. Sejak
tahun 1995, bersamaan dengan perubahan ketentuan tentang besarnya dan cara
menghitung jumlah minimal giro wajib bank atau giro wajib minimum (GWM),
bank-bank diharuskan menyimpan giro wajib pada BI. Untuk kehati-hatiannya
bank-bank biasanya mempunyai giro yang lebih besar dari kewajiban minimumnya.
2.
Menutup kekurangan tersebut dengan
mencari pinjaman dari bank lain dalam pasar uang antar bank (PUAB) dengan suku
bunga yang berlaku di pasar. Suku bunga pasar uang antar bank ini untuk
bank-bank yang dianggap bonafide di Jakarta, sejumlah 21 bank yang relatif
besar, disebut suku bunga JIBOR (Jakarta inter-bank offer rate). Untuk
bank-bank diluar mereka ini biasanya suku bunga lebih tinggi lagi. Semakin
suatu bank dianggap rendah bonafiditasnya diantara mereka semakin tinggi suku
bunga yang harus dibayar untuk pinjaman antar bank ini.
3.
Kalau dari sumber-sumber tersebut tidak
diperoleh, apapun alasannya, maka jalan yang ditempuh adalah minta menggunakan
fasilitas BI yang digunakan untuk menghadapi masalah ini. Fasilitas yang
tersedia adalah yang disebutkan pertama di atas, Fasdis I atau Fasdis II yang
berbeda dalam jangka waktu dan persyaratannya.
Dalam keadaan normal bank sebenarnya
tidak suka meminta BI untuk menggunakan fasilitas diskonto. Mengapa? Karena
dalam keadaan normal hal ini dipandang sebagai tindakan yang menunjukkan
kelemahan bank yang bersangkutan kepada bank-bank lain, bahwa bank tersebut tidak
dipercaya meminjam dana jangka pendek dari sesama bank. Ini merupakan suatu hal
yang tabu. Selain itu suku bunga fasilitas diskonto BI lebih tinggi dari suku
bunga pasar antar bank, karena mengandung unsur hukuman atau penalty, agar bank
tidak mudah menggunakan fasilitas ini.
Kebijakan
BLBI saat krisis 1997-1998 dilakukan agar perekonomian Indonesia saat itu tidak
hancur lebih dalam lagi. Karena pada saat itu kondisi Pasar Uang Antar Bank
juga tidak dapat melakukan transaksi pinjaman antar bank sebab mngalami masalah
likuiditas akibat penarikan dana besar-besaran dari nasabah. Oleh karena itulah
pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI diberikan oleh BI selaku lender
of the last resort berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 1968.
Kebijakan BLBI juga tidak terlepas dari peran IMF pada masa itu, dimana IMF
menginstruksikan kepada pemerintah untuk menghentikan rush dengan cara
menginjeksi dana BLBI sebesar Rp 144 triliun kepada 48 bank yang mengalami
kekurangan llikuiditas. Pengucuran BLBI dimaksudkan untuk memberikan bantuan
likuiditas pada saat bank mengalami saldo debet. Apabila saldo debet tersebut
tidak ditutup, bank-bank yang terkena akan “kalah kliring”. Dampak lanjutannya adalah
likuidasi, khususnya apabila pemegang saham tidak mampu menyuntikkan likuiditas
baru. Resiko yang dihadapi BI dan pemerintah, yaitu penutupan bank yang akan
diikuti rush dari para penabung.
Atas dasar hukum itulah Bank
Indonesia melaksanakan penyaluran BLBI kepada perbankan nasional. Total BLBI
yang dikucurkan hingga program penyehatan perbankan nasional selesai mencapai
Rp 144,5 triliun, dana tersalur ke 48 bank. Ke 48 bank itu dibedakan atas
kategori:
- 10 Bank Beku Operasi (BBO) dengan total BLBI mencapai Rp 57,7 triliun.
- 5 Bank Take Over (BTO) sebesar Rp 57,6 triliun,
- 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sebesar Rp 17,3 triliun,
- 15 bank Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp 11,9 triliun.
-
Bank Beku Operasi (BBO) adalah
pemberhentian sementara operasi suatu bank oleh pemerintah karena dianggap
tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga.
Bank Beku
Operasi yang menerima aliran dana BLBI yaitu : Bank Centris, BDNI, Bank Deka,
Bank Hokindo, Bank Bank Istimarat, Bank Modern, Bank Pelita, Bank Subentra,
Bank Surya, BUN.
-
Bank Take Over (BTO) adalah kelompok
Bank yang sahamnya diambil alih pemerintah menyusul telah dibantunya bank itu
dengan dana BLBI , jumlahnya sebanyak 5 Bank yaitu BCA, Bank Danamon, PDFCI,
Bank Tiara Asia, Bank Nusa Nasional/BNN.
-
Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)
adalah bank yg dibekukan kegiatan usahanya oleh BI untuk tujuan penyelesaian
kewajiban-kewajibannya secara intern & ekstern.
Adapun BBKU
yang mendapatkan dana bantuan dari BI yaitu Bank Aken, Bank Aspac, Bank Baja
Internasional, Bank Central Dagang, Bank Dagang dan Industri, Bank Danahutama,
Bank Dewa Rutji, Bank Ficorinvest, Bank Bira, Bank Intan, Bank Lautan Berlian,
Bank Papan Sejahtera, Bank Pesona (Utama), dan Bank PSP.
-
Bank Dalam Likuidasi (BDL) adalah bank yang telah dicabut izin usahanya
karena tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemenintah No. 68 tahun 1996 tentang ketentuan dan tata cara
pencabutan izin usaha, pembubaran, dan likuidasi bank karena dianggap tidak mungkin
diselamatkan lagi meskipun telah dilakukan berbagai upaya penyehatan.
Adapun BDL
yang mendapatkan dana bantuan dari BI yaitu: Bank Anrico, Bank Astria Raya,
Bank Citrahasta Dhanamanunggal, Bank Dwipa Semesta, Bank Guna Internasional,
Bank Harapan Santosa, Bank Industri, Bank Jakarta, Bank Kosagraha Semesta, Bank
Mataram Dhanarta, Bank Pacific, Bank Pinaesaa, Bank SBU, Bank SEAB, dan Bank
Majapahit.
Namun di dalam pelaksanaannya, dana
BLBI yang sebenarnya bertujuan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan
sektor perbankan supaya tidak terganggu ternyata justru diselewengkan oleh para
obligor penerima. Pada prinsipnya, BLBI hanya boleh dipergunakan untuk membayar
dana nasabah. Dari total penerimaan BLBI pada 48 bank, yaitu senilai Rp. 144,53
triliun, telah ditemukan berbagai pelanggaran, penyimpangan-penyimpangan yang
ditemukan BPK mencapai nilai Rp. 84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan BLBI
(per 29 Januari 1999). Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan
sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan
berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.
Menurut laporan audit investigasi
BPK, ditemukan 11 penyimpangan penggunaan BLBI yaitu :
1.
BLBI digunakan untuk
membayar/melunasi modal pinjaman/ pinjaman subordinasi. Penyimpangan penggunaan
jenis ini terjadi pada 5 bank dengan total penyimpangan Rp46,088 miliar.
2.
BLBI digunakan untuk
membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis.
Penyimpangan jenis ini terjadi pada 6 bank dengan total penyimpangan Rp113,812
miliar.
3.
BLBI digunakan untuk membayar kewajiban kepada
pihak terkait. Modusnya dengan menjual sebagian/seluruh saham pemilik/pihak
terkait secara melawan hukum seperti penjualan di bawah tangan atau pencatatan
transkasi dengan cara tanggal mundur. Penyimpangan penggunaan jenis ini terjadi
pada 39 bank dengan total penyimpangan Rp20,367 triliun.
4.
BLBI digunakan untuk transaksi surat berharga
dengan penyimpangan sebesar RP136,902 miliar yang terjadi pada 4 bank. Modus
operandinya antara lain pembayaran atas transaksi L/C yang telah dilunasi
importir, tetapi tidak diteruskan ke bank koresponden.
5.
BLBI digunakan untuk membayar/melunasi dana
pihak ketiga yang melanggar ketentuan. Penyimpangan jenis ini terjadi pada 15
bank dengan total penyimpangan Rp4,473 triliun.
6.
BLBI digunakan untuk membiayai
kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh
tempo. Modus operandinya, antara lain kerugian transaksi valas pribadi (pemilik
bank) dibebankan kepada bank atau membiayai kontrak derivatif baru yang
menyimpang dari ketentuan. Penyimpangan jenis ini paling besar sebanyak
Rp22,463 triliun yang terjadi pada 10 bank.
7.
BLBI digunakan untuk membiayai placement baru
di PUAB. Penyimpangan ini terjadi pada 11 bank dengan total penyimpangan
Rp9,822 miliar. Modus operandinya, antara lain penempatan dana bank pada bank
lain yang kemudian diteruskan sebagai kredit grupnya.
8.
BLBI digunakan untuk membiayai
ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah
ada dengan total penyimpangan Rp16,815 triliun di 35 bank. Modus operandinya,
antara lain pelunasan pinjaman lama yang macet dengan pinjaman baru dan
pemberian kredit ke pihak ketiga yang kemudian disalurkan ke pemilik.
9.
BLBI digunakan untuk membiayai investasi
dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen personil baru, peluncuran
produk baru, dan penggantian sistem baru. Penyimpangan penggunaan jenis ini
terjadi pada 16 bank dengan total penyimpangan Rp456,357 miliar.
10. BLBI digunakan untuk membiayai over head bank
umum. Modus operandinya adalah biaya entertainment dan pembayaran keanggotaan
golf. Penyimpangan penggunaan jenis ini mencapai Rp87,144 miliar yang terjadi
di 19 bank.
11. BLBI digunakan untuk membiayai kegiatan lain,
misalnya untuk pembayaran pajak, penjualan jaminan talangan trade finance.
Penyimpangannya cukup besar juga sebesar Rp10,062 triliun yang terjadi di 23
bank.
- Kebijakan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
BPPN adalah
sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27
Tahun 1998 tetang pembentukan BPPN.
Lembaga ini
dibentuk dengan tugas pokok untuk penyehatan perbankan, penyelesaiaan aset
bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor
perbankan.
Misi dari
Badan Penyehatan Perbankan Nasional adalah membantu pemulihan perekonomian
melalui restrukturisasi sektor perbankan dan restrukturisasi hutang perusahaan
serta mengoptimalkan pengembalian uang untuk mengurangi beban terhadap anggaran
pemerintah.
BPPN
melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan pengembalian uang negara dari
tangan para bankir, para pemegang saham terkait maupun dari para debitur
masing-masing bank yang mendapatkan penyaluran dana BLBI. Berbagai konsep
penyelesaian yang sifatnya menyeluruh telah dibuat dalam rangka mendapatkan
kembali dana BLBI tersebut.
Dalam
upayanya mengoptimalkan pengembalian uang negara BPPN telah melakukan upaya
penyelesaian dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan
kemampuan dari para pemegang saham bank penerima BLBI. Perjanjian tersebut
berupa:
-
Mengalihkan kewajiban bank menjadi
kewajiban pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank
beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master
settlement and acquisition agreemen (MSAA), pola ini dan master refinancing
agreement and note issuance agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan
dana BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN.
-
Pengkonversian BLBI pada bank-bank
take over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS).
-
Mengalihkan utang bank ke pemegang
saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali
(PKPS).
Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang
(APU). MSAA merupakan skema untuk penerima BLBI yang dinilai asetnya mampu
menutupi seluruh kewajiban. MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham
pengendali (PSP) bank yang masih memiliki harta cukup untuk menyelesaikan
kewajibannya terhadap pemerintah.
MSAA sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
terhadap pemegang saham pengendali Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan terhadap
pemegang pengendali saham Bank Take Over (BI, 2002). Masuk dalam kategori ini
adalah pemegang saham dari Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang
Nasional Indonesia, Bank Surya, serta Bank Risjad Salim International.
Jika aset yang diserahkan dinilai tidak mencukupi,
para pengutang BLBI menggunakan skema MRNIA. Melalui skema ini, para
penandatangan harus menyerahkan jaminan pribadi atau personal guarantee dan
menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset, bila aset yang sudah
diserahkan ternyata tetap belum mencukupi. Yang masuk dalam kategori ini adalah
pemegang saham dari Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, Bank
Hokindo. Skema penyelesaian dengan MSAA kemudian menimbulkan kontroversi.
Terutama karena aset yang diserahkan
ternyata tidak sebanding dengan besar utang. Untuk itu, pemerintah menggunakan
skema Akta Pengakuan Utang. Skema ini sama dengan MSAA, hanya pemegang saham
pengendali harus bertanggungjawab bila aset yang diagunkan ternyata tidak cukup
untuk mengembalikan BLBI yang telah diterima. Sedangkan PKPS merupakan
penyempurnaan terhadap mekanisme penyelasaian BLBI melalui MSAA dan MRNIA yang
mengundang banyak komentar negatif. Caranya melalui penandatanganan akta
pengakuan utang (APU). Dalam akta pengakuan utang (APU), mekanisme penyelesaian
kewajiban pemegang saham adalah dengan pembayaran secara tunai dalam jangka
waktu secara berkala. Yang masuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dari
bank-bank Bumi Raya Utama, BIRA, Sewu, Hastin, Tata, Namura Yasonta, Indotrade,
Putera, Baja, Lautan Berlian, Papan Sejahtera, Yama, Tamara, Nusa Nasional,
Intan, PSP, Namura Maduma, Bahari, Metropolitan, Bank Umum Servitia, Aken,
Mashill, dan Sanho. Untuk APU, telah dilakukan reformulasi jumlah kewajiban
pemegang saham (JKPS). Selain itu pembayaran yang berdasarkan perjanjian
sebelumnya jatuh tempo pada akhir 2004, dipercepat menjadi selambat-lambatnya
Juni 2003. Karena itu tidak ada jalan lain bagi pemegang saham yang tidak
kooperatif selain penyelesaian hukum dengan melaporkan ke Kejaksaan
2.5 Kebijakan
Restrukturisasi Perbankan.
Dengan
meredanya kesulitan likuiditas perbankan dan berkurangnya gelombang penarikan
dana, Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian menyiapkan program restrukturisasi
perbankan. Program ini bertujuan untuk mengatasi dampak krisis dan menghindari
terjadinya krisis serupa di masa datang.
Restrukturisasi
perbankan terdiri dari :
1.
Rekapitalisasi
Perbankan.
Rekapitalisasi
merupakan progam darurat penyuntikan modal agar bank memenuhi kriteria tententu
untuk tetap hidup. Kriteria tersebut adalah pemenuhan ketentuan CAR (Capital
Adequency Ratio) atau Kewajiban Penyediaan Dana Modal Minimum (KPDMM), yang
menunjukan rasio modal dengan aktiva tetap menurut resiko (ATMR), Bank
Indonesia menetapkan batas CAR sebesar 4% hingga akhir tahun 2000. Besaran CAR
yang digunakan untuk program rekapitalisasi adalah merupakan hasil due diligance.
Due diligence sering diterjemahkan uji tuntas yang pada dasarnya adalah audit
dan hasil analisis terhadap perusahaan yang dianggap under performing atau under
capitalized. Dengan dasar uji tuntas tersebut ditentukan kategori capital
adequacy ratio suatu bank sebagai berikut
- Kategori A :
Bank umum dengan CAR sama dengan atau lebih besar dari 4%
- Kategori B
: bank umum dengan CAR lebih kecil 4% tetapi lebih besar dari minus 25%
- Kategori
C : bank umum dengan CAR lebih kecil dari minus 25%.
Kategori
tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan sebuah bank perlu melakukan
rekapitalisasi atau tidak. Untuk bank yang masuk kategori A tidak perlu mengikuti
program rekapitalisasi tetapi harus membuat business plan yang jelas dan
menyampaikannya kepada Bank Indonesia. Bagi bank dengan kategori C harus mengikuti
program rekapitalisasi dengan syarat menambah modal terlebih dahulu hingga
CAR-nya masuk kategori B hingga batas waktu yang ditentukan. Sementara itu bila
bank sudah masuk kategori B (termasuk yang dari C ke B setelah menambah modal)
selanjutnya wajib menyetor modal sebesar 20% dari kebutuhan dana rekapitalisasi
pada saat program rekapitalisasi dilakukan.
Rekapitalisasi perbankan merupakan suatu keharusan sebagai upaya untuk menyehatkan sistem perbankan yang diharapkan dapat memulihkan perekonomian nasional.
2.
Restukturisasi
Kredit.
Restrukturisasi
kredit adalah terminologi keuangan yang
banyak digunakan dalam perbankan, yang artinya adalah upaya perbaikan yang dilakukan
dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Restrukturisasi yang dilakukan
antara lain melalui:
Dalam perbankan, restrukturisasi kredit hanya dapat
dilakukan terhadap debitur yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
-
Debitur memiliki
prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.
Pengertian Restrukturisasi dalam arti luas (menurut Pedoman Akuntansi Perbankan
Indonesia atau PAPI, revisi 2001), mencakup perubahan struktur organisasi,
manajemen, operasional, sistem dan prosedur, keuangan, aset, utang, pemegang
saham, legal dan sebagainya.
Restrukturisasi Kredit menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) adalah
upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur
yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya pada Bank. Restrukturisasi
dapat dilakukan dalam berbagai cara, serta dapat dilakukan pada saat kredit
belum termasuk kriteria Non Performing Loan.
Restrukturisasi kredit bertujuan untuk penyelamatan kredit sekaligus menyelamatkan
usaha debitur agar kembali sehat. Restrukturisasi kredit dapat dilakukan
apabila Bank mempunyai keyakinan bahwa debitur masih mempunyai prospek usaha
yang baik, dan mampu memenuhi kewajibannya setelah kreditnya direstrukturisasi
(Papi, rev 2001).
3. Pengembangan Infrastruktur Perbankan
Langkah
pengembangan infrastruktur perbankan untuk meningkatkan daya tahan bank
menghadapi berbagi gejolak. Salah satunya dengan pendirian Lembaga Penjamin
Simpanan dan Pengambangan Bank Syariah. Selain itu, dilakukan fungsi pengawasan
bank dengan mengutamakan penegakan aturan dan meningkatkan frekuensi
pemeriksaan bank yang difokuskan pada risiko yang dihadapi oleh setiap bank.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Krisis
moneter merupakan suatu peristiwa atau kondisi menurunnya ekonomi suatu negara.
Indonesia pernah mengalami krisis yang melanda perekonomiannya. Pada tahun 1997 krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi Indonesia benar-benar kolaps hingga
membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu menjadi minus. Penyebab dari
krisis ini karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang
besar, banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia, serta masalah pemerintahan dan politik di Indonesia.
Krisis
ini telah menjalar menjadi
ketidakpercayaan terhadap perbankan yang kemudian menimbulkan krisis perbankan.
Sebagai
langkah awal penyehatan perbankan disepakati bahwa tindakan melikuidasi bank
yang tidak solvent merupakan sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka restrukturisasi
perbankan. Setelah melalui serangkaian kajian disepakati BI melikuidasi 16
bank. Akibat pencabutan izin usaha terhadap 16 bank,
kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional runtuh, Hal ini mendorong
masyarakat melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran (rush)
dan perpindahan simpanan dari satu bank yang dipandang kurang sehat ke bank
lain yang dianggap lebih sehat.
Guna segera memulihkan kepercayaan terhadap
perbankan, pemerintah mengeluarkan kebijakan lanjutan. Kebijakan – kebijakan
itu antara lain adalah Kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) , Kebijakan
pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), serta Kebijakan Restrukturisasi Perbankan yang terdiri
dari Rekapitalisasi Perbankan, Restukturisasi Kredit, dan Pengembangan
Infrastruktur Perbankan.
Mari Berkomentar ConversionConversion EmoticonEmoticon